|



i was curious, so i checked gangnam style on youtube. i want my 7 minutes back..

|

SECANGKIR TEH DAN TUHAN

ketika menulis judul diatas, saya tidak tahu apa yang akan saya tulis selanjutnya di paragraf isi. karena sejujurnya saya tidak tahu hubungan secangkir teh dengan Tuhan, atau bagaimana memfilsafatkan secangkir teh agar dapat menambah keimanan kepada Tuhan. tetapi yang jelas, saya yakin akan kehadiran dan kebesaran Tuhan, dan itu selalu menguat setiap kali saya memandang lalu menyesap secangkir teh.

bagi orang lain, mungkin memang tidak ada hubungannya. tapi bagi saya ada.

Einstein menemukan dan merasakan tanda kehadiran Tuhan dalam kerumitan rumus fisika. Rabi’ah menemukan dan merasakan tanda kehadiran Tuhan dalam kekhuysukan dzikir di kesunyian. Rumi menemukan dan merasakan tanda kehadiran Tuhan dalam tarian yang membuatnya ekstase. Descartes menemukan dan merasakan tanda kehadiran Tuhan dengan berpikir secara mendalam. Bunda Teresa menemukan dan merasakan tanda kehadiran Tuhan dalam kasih dan pengabdian pada sesamanya. jadi apa salahnya kalau saya menemukan dan merasakan tanda kehadiran Tuhan ketika memandang lalu menyesap secangkir teh?

|

MENGENAL DIRI

"siapakah kamu?"

"saya adalah seorang laki-laki"

"saya tidak menanyakan jenis kelaminmu, siapakah kamu?"

"saya adalah orang islam"

"saya tidak bertanya apa agamamu, siapakah kamu?" 

"saya adalah seorang dokter"

"saya tidak bertanya apa profesimu, siapakah kamu?"

"saya adalah orang indonesia"

"saya tidak bertanya kewarganegaraanmu, siapakah kamu?

"saya adalah manusia"

"saya tidak bertanya apakah kamu, siapakah kamu?"



barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Muhammad SAW

|

UJI

adalah mudah untuk mengatakan 'aku mencintaimu' kepada sesuatu, selama sesuatu itu belum atau tidak pernah menyakitimu. mengutip puisi sufistik dari Daghestani, yang menyatakan : 

"aku tidak menerima cinta yang menurutmu sejati, sebelum aku mengujimu."

"apakah ujian itu?"

"jika aku meletakkan engkau di pemotong daging, lalu engkau menjadi potongan-potongan daging di ujung yang lain tetapi masih tetap hidup. dan jika aku kembalikan engkau ke bentuk asalmu, apakah engkau masih mencintaiku?"

|


THERE ARE NO SEVEN WONDERS OF THE WORLD IN THE
 EYES OF CHILD. THERE ARE SEVEN MILLION.
— WALT STREIGHTIFF —

|

SAAT MENGANGKASA

saya akan bercerita sebuah pengalaman saat saya mengangkasa ke langit atas sana. saat naik pesawat maksudnya.

pesawat lepas landas, naik mencium awan menuju langit. ketika tiba di atas, saya menengok ke bawah. yang terlihat cuma warna biru dan hijau. saya bertanya. dimanakah manusia? pastinya ada di bawah sana, kecil tak kelihatan. manakah yang namanya negara? ada juga pasti, jika dilihat dari peta. tapi tidak dari atas sini. garis-garis perbatasan itu tidak ada dari atas sini. semua kelihatan sama saja.

dimanakah itu bangsa, negara, suku, agama, bahasa, serta semua yang selama ini terkadang manusia agung-agungkan sampai dengan cara mengangkat senjata? kenapa saya tak melihatnya jika dari sini? mana itu perdebatan tak berujung antara kapitalisme-sosialisme, juga rasionalisme-empirisme? mana itu konflik berebut harta warisan, adu politik kursi pemerintahan, timbun menimbun uang di bank, demo buruh, dan lain-lainnya? dimanakah itu kejayaan, kekuasaan, keadilan, dan kebebasan?

dimana?

Tuhan, tunjukkan padaku. dari atas sini, mana itu band keren bernama The Beatles? apa itu budaya anak gaul dan anak alay? atau non-mainstream yang dipuja para Hipster? mana itu orang Jerman? mana itu orang Cina? mana itu orang Arab? mana itu orang Negro? mana itu orang Yahudi? mana itu orang Jawa? mana Suni, mana Syiah?

dimana? 

mana juga itu yang namanya waktu? sepertinya sayalah yang sedang mengayuh mendatangi senja, bukan menanti senja menutup hari sementara saya diam meringkuk di bawah selimut sendiri.  

semua biru. semua hijau. semua hitam. semua putih. semua akan jadi abu.


















|

F[a]ILSAFAT KOSONG

"cil, aku pikir Aristoteles telah salah"

"hah? salah gimana? ngelindur kamu? mbok ngaca! kamu itu siapa sok ngomong kayak gitu"

"namanya juga pendapat. pendapat itu upaya manusia memberi makna terhadap sesuatu yg ada. semua manusia boleh berpendapat"

"terserah kamu lah. terus maksudmu apa?"
 
"gini lo, cil. kata dia tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan"
 
"lah, kan bener"
 
"yang namanya kebahagiaan ya diciptakan to, cil. ngapain dicari-cari, mau dicari kemana emangnya?"
 
"diciptakan gimana? jangan ngawur kamu! ga usah sok berfilsafat!"
 
"bahagia atau tidak itu bukan disebabkan oleh hal di luar dirimu, kamulah penentunya"
  
"hah?"
 
"iya, cil. sebenarnya rasa bahagia, juga marah, sedih, senang dan lain-lain itu berasal dari dalam dirimu sendiri. caramu mengendalikan gejolak hatimu itu yang jadi kunci. hati bertapa, tidak kemana-mana"
 
"malah sok bersufi-sufi kamu!"
 
"hahahahahahaha"
 
"kenapa tertawa?"
 
"ga tau"
 
"gila!"
 
"di dunia yang semua manusianya telanjang, manusia yang berpakaian akan dianggap gila"
 
"hah? apaan maksudnya?! kamu ini lagi ga sadar ya?"
 
"aku sadar"
 
"kamu benar-benar sedang tidak gila?"
 
"tidak"
 
"ya sudah"
 
"lah?!"
 
"kita ini ngobrol apa sebenarnya dari tadi?"
 
"ga tau, cil"
 
"nah!"
 
"hahahahahahaha"
 
"dasar, wong gendeng!!!!"
 
"tak apa, cil. bukannya kata Socrates, orang bijak adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa"
 
"bener juga dia. siapa itu Socrates? temenmu?"
 
"nah! hahahahahahaha"

|


PERANG PALING BESAR ADALAH PERANG MELAWAN DIRI SENDIRI
MUHAMMAD SAW —

|

ATTICUS FINCH

"yang sama jangan dibeda-bedakan. yang beda jangan disamakan",

kalimat dari Gus Dur ini langsung terlintas di benak saya setelah menutup lembar terakhir buku yang berjudul To Kill a Mockingbird. kisah yang indah, sangat beruntung saya mendapat buku karangan Harper Lee ini dengan harga dua puluh ribu rupiah saja di tumpukan obral buku di salah satu toko buku di kota saya. hanya beberapa jam setelah selesai membaca bukunya, saya menyambangi filmnya dengan judul yang sama. film yang digarap tahun 1962 (dua tahun setelah bukunya terbit) itu menguatkan gambaran saya tentang seorang tokoh bernama Atticus Finch.

Atticus Finch adalah tokoh sentral dalam buku ini. pengacara sekaligus orang tua tunggal bagi dua anaknya yang masih kecil-kecil. filmnya menurut saya sukses menggambarkan figur Atticus Finch ke tampilan visual. penampilan Gregory Peck begitu karismatik dan tidak jauh seperti apa yang ada di imajinasi saya.


yang cukup disoroti dari tokoh Atticus Finch tentu adalah sebagai pengacara yang membela orang kulit hitam bernama Tom Robinson. dimana ia menerima resiko digunjing, dikecam, dan dibenci oleh hampir seluruh penduduk karena pembelaannya itu. wajar jika ia dan anak-anaknya merasa terdesak, karena mereka tinggal di suatu kota kecil bernama Maycomb yang hampir penduduknya satu sama lain saling mengenal.

apa yang saya dapat dari sosok Atticus Finch bukanlah semata-mata keteguhannya membela kaum minoritas meski berada di bawah tekanan. namun saya kagum pada bagaimana caranya membagi peran antara pekerjaan dan keluarga. ia membesarkan kedua anaknya yang sedang rajin-rajinnya bertanya macam-macam, dengan kasih sayang seorang ibu. ia mengajari kedua anaknya yang bernama Jem dan Scout membaca, menemani mereka menjelang tidur, dan sekaligus juga harus rela menjadi tontonan kedua anaknya ketika wajahnya diludahi seorang penduduk Maycomb. demi menjaga anak-anaknya dari pemandangan masa kecil yang kurang sedap, ia hanya menyapu mukanya dan berusaha tetap tegar tanpa melawan.

Atticus Finch, bagi saya menjadi suatu gambaran bagaimana ternyata menyesuaikan diri untuk menjalani multiperan dalam berbagai situasi adalah kebijaksanaan tersendiri. manusia tidak bisa jadi pengacara saja, bapak saja, anak saja, kawan saja, sahabat saja, orang baik saja, “penjahat” saja. ia memiliki seluruh peran itu sekaligus, dan pada akhirnya tergantung kebijaksanaan kita mau membuka katup yang mana untuk situasi yang mana.

selain tokoh Atticus Finch, banyak sekali dialog-dialog dan suatu sudut pandang dari tokoh-tokoh lain di buku To Kill a Mockingbird ini yang menurut saya sangat menarik. kisah di buku ini mengajarkan bahwa kehidupan tidak selalu tentang hitam dan putih. pantas-pantas saja kalau buku ini oleh beberapa majalah dinobatkan menempati peringkat teratas setelah Al-Quran dan Injil dalam daftar ‘buku yang harus dibaca seseorang sebelum ia meninggal’. 


"kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya. hingga kau menyusup ke alam pikirannya, dan menjalani hidup dengan caranya". Atticus Finch

|

SAVE THE EARTH?

"save the earth? what? are these people kidding me? there is nothing wrong with the earth"

pernyataan dari komedian George Carlin ini menurut saya cukup menarik, menggelitik kalimat semboyan 'save the earth' yang biasanya terpampang dimana-mana saat hari bumi yang diperingati setiap 22 april. 

mungkin ada benarnya juga pernyataan tersebut. manusia tidak perlu takut bumi akan rusak. saya pernah membaca, karena bumi punya kemampuan memulihkan diri, peradaban manusialah yang tidak. maksud memulihkan diri disini, bumi akan selalu mampu bergerak dari suatu keadaan ekstrim menuju titik keseimbangan baru. seharusnya yang patut di khawatirkan adalah bila manusia terlalu ekstrim ketika "memakai" bumi, mungkin bumi ini akan memunahkan manusia agar dia kembali stabil.

dilihat dari sejarahnya, bumi yang sudah berumur kira-kira 4 miliar tahun ini sudah mengalami banyak keadaan ekstrim. antara lain yaitu suhu bumi pernah jauh lebih panas dibandingkan sekarang, juga pernah jauh lebih dingin. bumi pernah juga mengalami keadaan dipenuhi CO2 berpuluh kali lebih pekat dari saat ini, juga pernah mengandung O2 hingga tingkat beracun. bahkan bumi pernah kejatuhan asteroid yang energinya melebihi seluruh senjata nuklir yang pernah ada sekalipun. pada keadaan ekstrim seperti itu manusia akan punah, tapi bumi selalu bisa pulih berkali-kali.

save the earth? it's less precise i think. we need to save ourselves. save the human race. earth is stronger. 

|

Manusia :   kenapa saya, Tuhan?


Tuhan   :   kenapa bukan kamu?

|

16.04.12 

Tuhan, aku mohon ampun bilamana membuatmu bosan
karena lagi, lagi, dan lagi, berkali-kali tak pernah berhenti
meminta engkau untuk selalu menjaga dia
aku mohon dengan sangat, Tuhan
mohon dengan sangat
mohon dengan sangat.

|

PEREMPUAN

Di mana lagi aku temui perempuan semacammu? Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar kepadaku.

Tapi, di mana lagi aku temui perempuan seikhlasmu? Wajahmu tak cantik melulu, masakanmu pun tidak lezat selalu.

Tapi, katakan kepadaku, di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu? Kau bahkan tidak biasa berbicara mewakili dirimu sendiri, dan acapkali menyampaikan isi hatimu dalam bahasa yang tak berkata-kata.

Demi Tuhan, tapi aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi aku cari perempuan seinspiratif dirimu? Ingatkah lima tahun lalu aku hanya memberimu selingkar cincin 3 gram yang engkau pilih sendirian? Tidak ada yang spektakuler pada awal penyatuan kita dulu. Hanya itu. Karena aku memang tidak punya apa-apa.

Ah, bagaimana bisa aku menemukan perempuan lain sepertimu? Aku tidak akan melupakan amplop-amplop lusuhmu, menyimpan lembaran ribuan yang kausiapkan untuk belanja satu bulan. Dua ribu per hari. Sudah kauhitung dengan cermat. Berapa rupiah untuk minyak tanah, tempe, cabe, dan sawi. Ingatkah, Sayang? Dulu kita begitu akrab dengan racikan menu itu. Setiap hari. Sekarang aku mulai merasa, itulah masa paling indah sepanjang pernikahan kita. Lepas maghrib aku pulang, berkeringat sebadan, dan kau menyambutku dengan tenang. Segelas air putih, makan malam: tempe, sambal, dan lalap sawi.

Kita bahagia. Sangat bahagia?.. Aku bercerita, seharian ada apa di tempat kerja. Kau memijiti punggungku dengan jemarimu yang lemah tapi digdaya. Kau lalu bercerita tentang tingkah anak-anak tetangga? Kala itu kita begitu menginginkan hadirnya buah cinta yang namanya pun telah kusiapkan sejak bertahun-tahun sebelumnya. Kita tidak pernah berhenti berharap, kan, Honey?

Dua kali engkau menahan tangismu di ruang dokter saat kandunganmu mesti digugurkan. Aku menyiapkan dadaku untuk kepalamu, lalu membisikkan kata-kata sebisaku, “tidak apa-apa. Nanti kita coba lagi. Tidak apa-apa.” Di atas angkot, sepulang dari dokter, kita sama-sama menangis, tanpa isak, dan menatap arah yang berlawanan. Tapi, masih saja kukatakan kepadamu, “Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kita masih muda.” Engkau tahu betapa lukanya aku. Namun, aku sangat tahu, lukamu berkali lipat lebih menganga dibanding yang kupunya. Engkau selalu bisa segera tersenyum setelah merasakan sakit yang mengaduk perutmu, saat calon bayi kita dikeluarkan. Kau memintaku menguburkannya di depan rumah kita yang sepetak. “Yang dalam, Kang. Biar nggak digali anjing.”

Jadi, ke mana aku bisa mencari perempuan sekuat dirimu? Kaupasti tak pernah tahu, ketika suatu petang, sewaktu aku masih di tempat kerja, hampir merembes air mataku ketika kauberitahu. “Kang, Mimi ke Ujung Berung, jual cincin.” Cincin yang mana lagi? Engkau sedang membicarakan cincin kawinmu, Sayang. Yang 3 gram itu. Aku membayangkan bagaimana kau beradu tawar menawar dengan pembeli emas pinggir jalan. Bukankah seharusnya aku masih mampu memberimu uang untuk makan kita beberapa hari ke depan? Tidak harus engkau yang ke luar rumah, melawan gemetar badanmu, bertemu dengan orang-orang asing. Terutama ? untuk menjual cincinmu? Cincin yang seharusnya menjadi monumen cinta kita. Tapi kausanggup melakukannya. Dan, ketika kupulang, dengan keringat sebadan, engkau menyambutku dengan tenang. Malam itu, tidak cuma tempe, cabe, dan lalap sawi yang kita makan. Kau pulang membawa uang. Duh, Gusti, jadi bagaimana aku sanggup berpikir untuk mencari perempuan lain seperti dirinya?

Ketika kondisi kita membaik, bukankah engkau tidak pernah meminta macam-macam, Cinta? Engkau tetap sesederhana dulu. Kau belanja dengan penuh perhitungan. Kauminta perhatianku sedikit saja. Kau kerjakan semua yang seharusnya dikerjakan beberapa orang. Kaucintai aku sampai ke lapisan tulang. Sampai membran tertipis pada hatimu.

Ingatkah, Sayang? Aku pernah menghadiahimu baju, yang setelah itu kau tak mau lagi membeli pakaian selama bertahun-tahun kemudian. Baju itu seharga kambing, katamu. Kau tak mau buang-buang uang. Bukankah telah kubebaskan kau mengelola uang kita? Kau tetap seperti dulu. Membuat prioritas-prioritas yang kadang membuatku kesal. Kau lebih suka mengisi celengan ayam jagomu daripada membeli sedikit kebutuhanmu sendiri.

Dunia, kupikir aku tak akan pernah menemui lagi perempuan seperti dia. Sepekan lalu, Sayang, sementara di rahimmu anak kita telah sempurna, kau masih memikirkan aku. Menanyai bagaimana puasaku, bukaku, sahurku? Siapa yang mencuci baju-bajuku, menyetrika pakaianku. Bukankah sudah kupersilakan engkau menikmati kehamilanmu dan menyiapkan diri untuk perjuanganmu melahirkan anak kita? “Kang, maaf, ya, dah bikin khawatir, gak boleh libur juga gak papa. Tadi tiba-tiba gak enak perasaan. Tau nih, mungkin karena bentar lagi.” Bunyi smsmu saat kudalam perjalanan menuju Jakarta. Panggilan tugas. Dan, engkau sangat tahu, bagiku pekerjaan bukan neraka, tetapi komitmen. Seberat apa pun, sepepat apa pun, pekerjaan adalah sebuah proses menyelesaikan apa yang pernah aku mulai. Tidak boleh mengeluh, tidak boleh menjadikannya kambing hitam. Membaca lagi SMSmu membuatku semakin tebal bertanya, ke mana lagi kucari seorang pecinta semacammu.

Kau mencintaiku dengan memberiku sayap. Sayap yang mampu membawaku terbang bebas, namun selalu memberiku alamat pulang kepadamu. Selalu. Lalu SMS mu itu kemudian menjadi firasat. Sebab, segera menyusul teleponmu, pecah ketubanmu. Aku harus segera menemuimu. Secepat-cepatnya meninggalkan Bandung menuju Cirebon untuk mendampingimu. “Terus kamu kenapa masih di sini? Pulang saja,” kata atasanku ketika itu. Engkau tahu, Sayang, aku masih berada di dalam meeting ketika teleponmu mengabarkan semakin mendekatnya detik-detik lahirnya “tentara kecil” kita. Ketika itu aku masih berpikir, boleh kuselesaikan meeting itu dulu, agar tidak ada beban yang belum terselesaikan. Tapi, tidak. Atasanku bilang, tidak. “Pulang saja,” katanya. Baru kubetul-betul sadar, memang aku segera harus pulang. Menemuimu. Menemanimu. Lalu, kusalami mereka yang ada di ruang rapat itu satu-satu. Tidak ada yang tidak memberikan dorongan, kekuatan, dukungan.

Lima jam kemudian aku ada di sisihmu. Seranjang sempit rumah sakit dengan infuse di pergelangan tangan kirimu. Kaumulai merasakan mulas, semakin lama semakin menggila. Semalaman engkau tidak tidur. Begitu juga aku. Berpikir untuk memejamkan mata pun tak bisa. Aku tatap baik-baik ekspresi sakitmu, detik per detik. Semalaman, hingga lepas subuh, ketika engkau bilang tak tahan lagi. Lalu, aku berlari ke ruang perawat. “Istri saya akan melahirkan,” kataku yakin.

Bergerak cepat waktu kemudian. Engkau dibawa ke ruang persalinan, dan aku menolak untuk meninggalkanmu. “Dulu ada suami yang ngotot menemani istrinya melahirkan, lihat darah, tahu-tahu jatuh pingsan,” kata dokter yang membantu persalinanmu. Aku tersenyum, yang pasti laki-laki itu bukan aku. Sebab aku merasa berada di luar ruang persalinan itu akan jauh lebih menyiksa. Aku ingin tetap di sisihmu. Mengalirkan energi lewat genggaman tanganku, juga tatapan mataku. Terjadilah. Satu jam. Engkau mengerahkan semua tenaga yang engkau tabung selama bertahun-tahun. Keringatmu seperti guyuran air. Membuat mengilap seluruh kulitmu. Terutama wajahmu. Menjerit kadangkala. Tanganmu mencengkeram genggamanku dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kekuatan yang lahir oleh kesakitan. Engkau sangat kesakitan, sementara “tentara kecil” kita tak pula mau beranjak. “Banyak kasus bayi sungsang masih bisa lahir normal, kaki duluan. Tapi anak ini kakinya melintang,” kata dokter. Aku berusaha tenang. Sebab kegaduhan hatiku tidak bisa membantu apa-apa. Kusaksikan lagi wajah berpeluhmu,Sayang. Kurekam baik-baik, seperti fungsi kamera terbaik di dunia. Kusimpan lalu di benakku yang paling tersembunyi. Sejak itu kuniatkan, rekaman itu akan kuputar jika suatu ketika kuberniat mencurangimu, menyakitimu, melukaimu, mengecewakanmu.

Aku akan mengingat wajah itu. Wajah yang hampir kehilangan jiwa hanya karena ingin membuatku bahagia. “Sudah tidak kuat, Kang. Nggak ada tenaga,” bisikmu persis di telingaku. Karena sengaja kulekatkan telingaku ke bibirmu. Aku tahu, ini urusan nyawa. Lalu kumerekam bisikanmu itu. Aku berjanji pada hati, rekaman suaramu itu akan kuputar setiap lahir niatku untuk meminggirkanmu, mengecilkan cintamu, menafikkan betapa engkau permata bagi hidupku. Aku mengangguk kepada dokter ketika ia meminta kesanggupanku agar engkau dioperasi. Tidak ada jalan lain. Aku membisikimu lagi, persis di telingamu, “Mimi kuat ya. Siap, ya. Ingat, ini yang kita tunggu selama 5 tahun. Hayu semangat!”

Engkau mengangguk dengan binar mata yang hampir tak bercahaya. Aku tahu, ini urusan nyawa. Tapi mana boleh aku memukuli dinding, menangis sekencang angin, lalu mendongak ke Tuhan, “Kenapa saya, Tuhan! Kenapa kami?” Sebab, Tuhan akan menjawab, “Kenapa bukan kamu? Kenapa bukan kalian?” Aku mencoba tersenyum lagi. Mengangguk lagi kepadamu. “Semua akan baik-baik saja.” Maka menunggumu di depan ruang operasi adalah saat di mana doa menjadi berjejal dan bernilai terkhusyuk sepanjang hidup. Seandainya aku boleh mendampingi operasimu?. Tapi tidak boleh. Aku menunggumu sembari berkomat-kamit sebisaku. Aku sendirian. Berusaha tersenyum, tetapi sendirian. Tidak ? tidak terlalu sendirian.

Ada seseorang mengirimiku pesan pendek dan mengatakan kepadaku, “Aku ada di situ, menemanimu.” Kalimat senada kukatakan kepadanya suatu kali, ketika dia mengalami kondisi yang memberatkan. “Apa kepala bebalmu tidak merasa? Aku ada di situ! Menemanimu!” Lalu, tangis itu! Rasanya seperti ada yang mencabut nyawaku dengan cara terindah sedunia. Tangis itu! Tentara kecil kita. Menjadi gila rasanya ketika menunggu namaku disebut. Berlari ke lorong rumah sakit ketika tubuh mungil itu disorongkan kepadaku. “Ini anak Bapak?” Tahukah engkau, Sayang. Ini bayi yang baru keluar dari rahimmu, dan aku harus menggendongnya. Bukankah dia terlau rapuh untuk tangan-tangan berdosaku? Dokter memberiku dukungan. Dia tersenyum dengan cara yang sangat senior. “Selamat, ya. Bayinya laki-laki.” Sendirian, berusaha tenang. Lalu kuterima bayi dalam bedongan itu. Ya, Allah? bagaimana membahasakan sebuah perasaan yang tidak terjemahkan oleh semua kata yang ada di dunia???

Makhluk itu terpejam tenang semacam malaikat; tak berdosa. Sembari menahan sesak di dadaku, tak ingin menyakitinya, lalu kudengungkan azan sebisaku. Sebisaku. Sebab, terakhir kukumandangkan azan, belasan tahun lalu, di sebuah surau di pelosok Gunung Kidul. Azan yang tertukar redaksinya dengan Iqomat. Mendanau mataku. Begini rasanya menjadi bapak? Rasanya seperti tertimpa surga. Aku tak peduli lagi seperti apa itu surga. Rasanya sudah tidak perlu apa-apa lagi untuk bahagia. Momentum itu berumur sekitar lima menit. Tentara kecil kita diminta oleh perawat untuk dibersihkan. Ingatanku kembali kepadamu.

Bagaimana denganmu, Sayang? Kukirimkan kabar tentang tentara kecil kita kepada seseorang yang semalaman menemani kita bergadang dari kejauhan. Dia seorang sahabat, guru, inspirator, pencari, dan saudara kembarku. “He is so cute,” kata SMS ku kepadanya. Sesuatu yang membuat laki-laki di seberang lautan itu menangis dan mengutuk dirinya untuk menyayangi bayi kita seperti dia merindukan dirinya sendiri. Sebuah kutukan penuh cinta. Setengah jam kemudian, berkumpul di ruangan itu. Kamar perawatan kelas dua yang kita jadikan kapal pecah oleh barang-barang kita. Engkau, aku, dan tentara kecil kita. Seorang lagi; keponakan yang sangat membantuku di saat-saat sulit itu. Seorang mahasiswi yang tentu juga tidak tahu banyak bagaimana mengurusi bayi. Tapi dia sungguh memberiku tangannya dan ketelatenannya untuk mengurusi bayi kita. Engkau butuh 24 jam untuk mulai berbicara normal, setelah sebelumnya seperti mumi. Seluruh tubuhmu diam, kecuali gerakan mata dan sedikit getaran di bibir.

Aku memandangimu, merekam wajahmu, lalu berjanji pada hati, 50 tahun lagi, engkau tidak akan tergantikan oleh siapa pun di dunia ini. Lima hari, Sayang. Lima hari empat malam kita menikmati bulan madu kita sebenar-benarnya. Aku begitu banyak berimprovisasi setiap hari. Mengurusi bayi tidak pernah ilmunya kupelajari. Namun, apa yang harus kulakukan jika memang telah tak ada pilihan? Aku menikmati itu. Berusaha mengurusmu dengan baik, juga menenangkan tentara kecil kita supaya tangisnya tak meledak-ledak. “Terima kasih, Kang,” katamu setelah kubantu mengurusi kebutuhan kamar mandimu. Lima tahun ini apa keperluanku yang tidak engkau urus, Sayang? Mengapa hanya untuk pekerjaan kecil yang memang tak sanggup engkau lakukan sendiri, engkau berterima kasih dengan cara paling tulus sedunia? Lalu ke mana kata “terima kasih” yang seharusnya kukatakan kepadamu sepanjang lima tahun ini? Tahukah engkau, kata “terima kasih” mu itu membuat wajahmu semelekat magnet paling kuat di kepalaku. Mengurusimu dan bayi kita.

Lima hari itu, aku menemukan banyak gaya menangisnya yang kuhafal di luar kepala, agar aku tahu apa pesan yang ingin dia sampaikan. Gaya kucing kehilangan induk ketika ia buang kotoran. Gaya derit pintu ketika dia merasa kesepian, gaya tangis bayi klasik (seperti di film-film atau sandiwara radio) jika dia merasa tidak nyaman, dan paling istimewa gaya mercon banting; setiap dia kelaparan. Tidak ada tandingnya di rumah sakit bersalin yang punya seribu nyamuk namun tidak satu pun cermin itu. Dari ujung lorong pun aku bisa tahu itu tangisannya meski di lantai yang sama ada bayi-bayi lain menangis pada waktu bersamaan.

Ah, indahnya. Tak pernah bosan kutatapi wajah itu lalu kucari jejak diriku di sana. Terlalu banyak jejakku di sana. Awalnya kupikir 50:50 cukup adil. Agar engkau juga merasa mewariskan dirimu kepadanya. Tapi memang terlalu banyak diriku pada diri bayi itu. Hidung, dagu, rahang, jidat, tangis ngototnya, bahkan detail cuping telinga yang kupikir tidak ada duanya di dunia.

Ada bisik bangga, “Ini anakku? anak laki-lakiku. ” Tapi tenang saja, istriku, kulitnya seterang dan sebening kulitmu. Rambutnya pun tak seikal rambutku. Kuharap, hatinya kelak semembentang hatimu. Kupanggil dia Sena yang berarti tentara. Penggalan dari nama sempurnanya: Senandika Himada. Sebuah nama yang sejarahnya tidak serta-merta. Panjang dan penuh keajaiban. Senandika bermakna berbicara dengan diri sendiri; kontemplasi, muhasabbah, berkhalwat dengan Allah. Sedangkan Himada memiliki makna yang sama dengan Hamida atau Muhammad: YANG TERPUJI? dan itulah doa kita untuknya bukan, Sayang? Kita ingin dia menjadi pribadi yang terpuji dunia akhirat. Kaya nomor sekian, pintar pun demikian, terkenal apalagi. Yang penting adalah terpuji? mulia? dan ini bukan akhir kita, bukan, Honey?

Ini menjadi awal yang indah. Awalku jatuh cinta (lagi) kepadamu. (persembahan buat setiap perempuan, dan ibu yang hatinya semembentang samudra). 

 
-Tasaro GK- 




p.s :
terima kasih kepada seorang teman sudah berbagi cerita pendek indah ini. "ini wajib dibaca buat seluruh suami dan seluruh calon suami yang ada di semesta", kata dia dengan menggebu-gebu. X)

|
 
A untuk April
A untuk Aku
A untuk Api
A untuk Arang
A untuk Abu

April lampau Aku dilahap Api jadi Arang lalu Abu.

|

MAHASISWA TUA DAN MANUSIA TAI

ini warung
tempatku merenung
sesekali termenung
aku wisatawan warung
kesana kemari mencari suwung
sambil bersenandung sampai linglung

hari sudah mendung
sekian dulu mengenal hakikat inti jantung  
aku ingin pulang kampung
berubah aku menjadi burung
aku terbang
tercabut dari dingklik panjang
pantatku luka-luka
diameternya membagi hidupku menjadi dua
mahasiswa tua dan manusia tai

aku terus merenung
sambil pergi terbang
mengepakkan sayapku yang hampir buntung
perjalanan masih panjang
tujuanku sudah menunggu di ujung gang

|



|

LIBURAN 

apa sesungguhnya sejatinya makna liburan? menghabiskan uang? ya, tentu. liburan biasanya memerlukan uang. tapi saya tak setuju menyebutnya 'menghabiskan', karena menghabiskan berarti tidak menukarnya dengan apapun juga. dan menurut saya tidak ada apapun yang tidak ditukar dengan apapun. tidak ada satu hal di dunia ini yang memberi saja atau menerima saja. guru yang tidak dibayar sekalipun, sesungguhnya ia mendapat kebahagian dari apa yang sudah ia berikan. dan apalah artinya uang yang saya habiskan di setiap liburan menemukan fungsinya yang sejati, kecuali ditukar dengan pengalaman.

pengalaman adalah hal yang membuat manusia menemukan dinamikanya. Tuhan menciptakan manusia berumur terbatas. sehingga masing-masing manusia tak mungkin menjelajahi keseluruhan dari dunia. namun Tuhan juga menciptakan kelima indra bersama memori untuk menyimpan ingatan. sehingga apa yang dilihat, bisa dibagi ke orang lain yang tidak mengalami. itulah indahnya kehidupan ini, salah satunya. artinya, apakah itu makna liburan, selain demi kita menyerap pengalaman agar dibagi pada yang lainnya? bahwa sesungguhnya kita menukar uang kita untuk memperkaya pandangan manusia satu dengan manusia lain?

selain itu apa artinya sebuah liburan juga, jika bukan untuk mengambil jarak dari keseharian. juga untuk berkontemplasi meneropong kehidupan dari kejauhan. untuk beristirahat sejenak dari yang menyibukkan. maka jika liburan malah menjadi bertambah tekanan, maka tinggalkan saja. dalam liburan tiada tuntutan, sangat sah jika kamu hanya tiduran seharian. tidak perlu khawatir akan tuntutan jalan-jalan, dalam liburan akhirnya kamu punya momen dimana kehidupanmu boleh-boleh saja tak bertujuan.

menyadari bahwa manusia itu dalam kegilaan yang nyata. bahwa rutinitas bisa membunuh kesadaran. maka dari itu, sekali-kali manusia memang butuh sesuatu bernama liburan sebagai spasi. tapi mesti pandailah kita mengatur liburan, jangan sampai liburan juga menjadi suatu rutinitas yang baru. jika itu terjadi, kegilaan pangkat dua itu namanya. mungkin, memang ada kalanya yang kita lakukan atau pikirkan itu tak semuanya harus hal "penting". "bersiul itu pun tidak penting, tapi toh menyenangkan", demikian kata Goenawan Mohamad. yang paling penting adalah, bagaimana kita malah mendapat "hal penting" dari setiap "hal tidak penting". 

"pandai-pandailah mengambil makna dari sesuatu, sesuatu apapun itu". kata Emha Ainun Nadjib.

|

LINGKARAN SAMA SISI
 

menyepi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi lagi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi lagi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi lagi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi lagi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi lagi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi lagi. bosan sendiri. ada yang disukai. basa basi. haha hihi. tak terisi. kosong dalam hati. pergi. lari. sendiri. menyepi.

|

AKU INGIN MERDEKA DARI IDA
...kata chairil anwar

AKU INGIN MERDEKA DARI DIA
...kataku