16 april 2013
kepada ithaq,
hari ini ulang tahunmu kan? aku
ingin memberimu sesuatu, tapi aku bingung mau memberi sesuatu apa yang cocok
buat perempuan secantik seindah seaneh kamu. jadi bersama surat
ini kukirimkan saja padamu sepotong senja. dengan angin, debur ombak, matahari
terbenam, dan cahaya keemasan. apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
seperti setiap senja di setiap
pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan
barangkali juga perahu lewat di jauhan. maaf, aku tidak sempat menelitinya satu
persatu. mestinya ada juga batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang
yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian.
kukirimkan sepotong senja ini
untukmu, thaq. dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin
memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
sudah terlalu banyak kata di
dunia ini, thaq. dan kata-kata, ternyata tidak mengubah apa-apa. aku tidak akan
menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan
manusia.
benar kan? untuk apa? kata-kata
tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. lagi pula siapakah yang masih sudi
mendengarnya? di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah
ada orang lain yang mendengarnya. bahkan mereka juga tidak peduli dengan
kata-katanya sendiri. sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. kata-kata
sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. setiap kata bisa diganti artinya. setiap
arti bisa diubah maknanya. itulah dunia kita.
kukirimkan sepotong senja untukmu,
thaq. bukan kata-kata. kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan
langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama
seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik
cakrawala.
akan kuceritakan padamu bagaimana
aku mendapatkan senja itu untukmu.
sore itu beberapa minggu lalu aku
duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. memandang
bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. di tepi
pantai, di tepi bumi, indah, cantik, keindahan tiada tara. melihat kecantikan
itu entah kenapa aku tiba-tiba teringat padamu. "barangkali senja ini bagus
untukmu," pikirku. maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat
sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. dengan begitu keindahan itu bisa abadi
dan aku bisa memberikannya padamu.
setelah itu aku berjalan pulang
dengan perasaan senang. aku yakin kamu akan menyukainya. tapi ketika aku
meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong,
ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. kulihat cakrawala itu
berlubang kira –kira sebesar kertas hvs. aku segera bergegas.
semua itu telah terjadi dan
kejadiannya akan tetap seperti itu. aku telah sampai ke motorku, dan
bersiap-siap pulang. lalu di antara kerumunan itu kulihat seseorang
menunjuk-nunjuk ke arahku.
"dia yang mengambil senja itu!
lihat dia mengambil senja itu!"
kulihat orang-orang itu melangkah
ke arahku. melihat gelagat itu aku segera menghidupkan motorku dan segera
tancap gas.
"catat nomernya! catat nomernya!"
aku melejit ke jalan. kukebut sepeda
motorku tanpa perasaan panik. aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu
dan hanya untukmu saja. tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. cahaya senja
yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku celanaku. aku merasa cemas
karena meskipun sudah kumasukkan di dalam saku celana tapi cahaya senja itu
memancar cukup terang dan dapat dilihat dari luar.
aku mengidupkan radio dari
handphoneku. dari situ aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar
ke mana-mana. dari televisi yang aku lihat saat aku mampir di pom bensin bahkan
kulihat potretku sudah terpampang. aduh, baru hilang satu senja saja sudah
paniknya seperti itu. apa tidak bisa menunggu sampai besok? bagaimana kalau
setiap orang mengambil senja untuk perempuan spesialnya masing-masing?
barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di
toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. sudah
waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang
asongan di perempatan jalan.
"senja, lima ribu tiga. lima ribu
tiga."
di jalan motorku melaju masuk
kota. aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. sirene mobil polisi
meraung-raung di mana-mana. cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat
cahaya keemasan dari dalam saku celanaku tidak terlalu kentara. lagi pula di
kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. di kota
kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. jadi
tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. senja cuma penting untuk turis
yang suka memotret matahari terbenam. boleh jadi hanya demi alasan itulah senja
yang kubawa ini dicari-cari polisi.
sirene polisi mendekat dari
belakang. dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
"pengemudi sepeda motor warna
orange nomor P 180408 Z, harap berhenti. ini polisi. anda ditahan karena
dituduh telah membawa senja. meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi
berdasarkan… bla..bla..bla.."
aku tidak sudi mendengarnya lebih
lama lagi. kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. dalam
waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. terjadi kejar-kejaran
yang seru. tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bermain
warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat,
lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
satu mobil terlempar di jalan
ketika mengejarku, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil
lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar. masih ada dua
polisi besepeda motor mengejarku. ini soal kecil. mereka tak pernah bisa mendahuluiku,
dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan
pengendaranya cuma bisa memaki-maki. kulihat senja dalam saku celanaku, masih
utuh. angin berdesir. langit semburat ungu. debur ombak menghempas ke pantai.
hanya padamulah senja ini akan kuserahkan, thaq.
tapi, polisi ternyata tidak
sekonyol yang kusangka. di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. bahkan
aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. bahkan di langit tanpa
senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung. aku tersudut
dan akhirnya nyaris tertangkap. kalau saja tidak ada gorong-gorong yang
terbuka.
sepeda motorku sudah kutinggal
ketika memasuki daerah kumuh itu. aku berlari di antara gudang, rumah tua, tiang,
serta temali jemuran. terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot,
sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah
kulupakan dalam hidupku.
"masuklah," katanya tenang,
"disitu kamu aman."
ia menunjuk gorong-gorong yang
terbuka itu. ada tikus keluar dari sana. bau bacin dan pesing. kutengok ke
bawah. kulihat kelelawar bergantungan. aku ragu-ragu. namun deru helikopter
dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
"masuklah, kamu tidak punya
pilihan lain."
dan gelandangan itu mendorongku.
aku terjerembab jatuh. bau busuknya bukan main. gorong-gorong itu segera
tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. lampu sorot
helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. kurabah
senja dalam saku celanaku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa
melihat dalam kegelapan. aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup
tinggi juga. kusibakkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu.
kulihat cahaya terang di ujung gorong-gorong. air busuk mengalir setinggi
lutut, namun makin ke dalam makin surut.
aku berjalan terus melangkahi
mereka dan coba bertahan. betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan
senja ini, thaq.
di ujung gorong-gorong, di tempat
cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. kuikuti tangga itu. cahaya
semakin terang dan semakin benderang. astaga. kamu boleh tidak percaya thaq,
tapi kamu akan terus membacanya. tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan
tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? di tempat persis
sama dengan tempat di mana aku mengambil senja untukmu itu, thaq. sebuah pantai
dengan senja yang bagus. ombak, angin, dan kepak burung. tak lupa cahaya
keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. cuma
saja tidak ada lubang sebesar kertas hvs. jadi, meskipun persis sama, tapi
bukan tempat yang sama.
aku berjalan ke tepi pantai.
tenggelam dalam guyuran alam. nyiur tentu saja, matahari, dan dasar lautan yang
bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. sepanjang penglihatanku disana
sepi sekali, tak ada penjaga pantai, tak ada nelayan, tak ada keramaian.
sambil duduk di tepi pantai aku
berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya?
setelah berjalan ke sana ke mari aku jadi tahu kalau dunia dalam gorong-gorong
ini kosong melompong. tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. hanya
burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat
sarang. ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. ia hanya
burung berkepak dan berkepak terus disana. aku tak habis pikir thaq, alam
seperti ini dibuat untuk apa? untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin
jatuh cinta itu jika tak ada seekor makhluk pun menikmatinya? sementara di atas
sana orang-orang ribut kehilangan senja.
jadi, begitulah thaq, kuambil
juga senja itu. kukerat dengan cutter yang kubawa di tasku, pada empat sisinya,
sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kertas hvs. dengan dua
senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. bumi berhenti beredar di
belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. aku mendaki tangga kembali
menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
sampai di atas, setelah melewati
kelelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi
lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. gelandangan yang
menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup harmonika.
aku berjalan mencari motorku.
masih terparkir di tempat yang sama. nampaknya bahkan baru saja dicuci. entah
siapa yang iseng mencucinya. setelah menghabiskan rokok sebatang kukebut motorku
menuju pantai. dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan
matahari, laut, pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, celanaku bagai
memancarkan cahaya ilhai. sepanjang jalan, kutancap gas dengan kecepatan penuh.
ithaq,
kamu pasti sudah tahu apa yang
terjadi kemudian. kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kertas
hvs itu dan ternyata pas. lantas kukirimkan senja yang asli ini untukmu, lewat
pos.
aku ingin kamu mendapatkan apa
yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya. senja pujaan
setiap manusia. bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
kini gorong-gorong itu betul-betul
menjadi gelap, thaq. pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita
pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. meraka akan berkisah
bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan mataharinya
sendiri, namun semua itu tidak lagi karena seorang telah mengambil senja untuk
menggantikan senja lain di atas bumi. orang-orang tua itu juga akan bercerita
bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada
perempuan yang disayanginya.
terimalah sepotong senja itu,
thaq. hanya untukmu. awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah
cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan
bumi.
selamat ulang tahun. aku sangat
ingin bertemu denganmu, tapi.… ah, sudahlah. dengan ini kukirimkan pula
kerinduanku padamu, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.